Alun-alun utara atau dalam Bahasa Jawa disebut Alun-alun Lor
merupakan salah satu land mark Kota Yogyakarta yang berupa sebuah
tanah lapang yang berada di depan Keraton Yogyakarta. Disebut Alun-alun Lor
karena di Kota Yogyakarta terdapat dua alun-alun yang letaknya di sebelah
selatan dan utara dari Keraton Yogyakarta. Alun-alun Lor berbentuk persegi
dengan luas 150 x 150 meter dengan dua pohon beringin besar berpagar yang
berada di tengah alun-alun. Dua Pohon Beringin Besar itu masing-masing diberi
nama Kyai Dewandaru dan Kyai Wijayandaru. Pada masa lalu di sekeliling
Alun-alun Lor ditanam 63 Pohon Beringin yang melambangkan umur Nabi Muhammad
SAW.
Alun-Alun Lor di Masa Lampau
Beberapa sumber
menyebutkan bahwa dulu permukaan alun-alun adalah pasir halus yang cocok
digunakan untuk tempat latihan para prajurit juga untuk unjuk kehebatan di
hadapan Sultan. Sultan dan para pembesar kerajaan duduk di Siti Hinggil, yaitu
bagian muka keraton yang memiliki permukaan lebih tinggi untuk melihat atraksi
para prajuritnya. Alun-alun Lor juga digunakan untuk “Tapa Pepe”, yaitu suatu
bentuk unjuk diri dari rakyat agar didengar dan mendapat perhatian dari sultan.
Tapa Pepe dilakukan pada siang hari terik di antara dua Pohon Beringin oleh
seseorang yang sedang memohon keadilan langsung kepada Sultan.
Pada masa lalu di sisi timur alun-alun terdapat pendopo-pendopo kecil yang disebut perkapalan. Perkapalan digunakan oleh para bupati untuk menginap dan beristirahat ketika menghadap sultan. Pada zaman dahulu, Alun- alun Lor adalah wilayah sakral dimana tidak sembarang orang diperkenankan untuk memasukinya. Ada aturan-aturan yang wajib dipatuhi jika ingin memasukinya, misalnya tidak boleh menggunakan kendaraan, sepatu, sandal, bertongkat, dan mengembangkan payung. Hal ini dilakukan sebagai wujud penghormatan kepada Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pada masa lalu di sisi timur alun-alun terdapat pendopo-pendopo kecil yang disebut perkapalan. Perkapalan digunakan oleh para bupati untuk menginap dan beristirahat ketika menghadap sultan. Pada zaman dahulu, Alun- alun Lor adalah wilayah sakral dimana tidak sembarang orang diperkenankan untuk memasukinya. Ada aturan-aturan yang wajib dipatuhi jika ingin memasukinya, misalnya tidak boleh menggunakan kendaraan, sepatu, sandal, bertongkat, dan mengembangkan payung. Hal ini dilakukan sebagai wujud penghormatan kepada Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Alun-Alun Lor sebagai Ruang Publik
Alun-alun utara |
Berbeda dengan
saat ini, Alun-alun Lor menjadi sebuah ruang publik yang bisa dimanfaatkan oleh
setiap orang. Di sini dapat dijumpai berbagai macam pedagang kaki lima yang
mengelilingi alun-alun dari pagi hingga malam. Pada waktu-waktu tertentu,
seperti Pekan Raya Sekaten, Perayaan Grebeg Maulud Nabi, serta upacara keraton
lainnya, Alun-alun Lor akan menjelma sebagai sebuah tempat yang ramai dan
dipadati banyak orang karena acara-acara tersebut selalu digelar di alun-alun
ini. Acara lain yang biasa diadakan di sini ini adalah pertunjukan seni budaya,
konser musik, pasar malam, sepeda santai, dan aktivitas lainnya.
Perjalanan ke Alun-alun Lor sangat mudah karena letaknya yang berada
di tengah-tengah Kota Yogyakarta dengan kemudahan akses menuju ke sana. Jika
Anda dari arah jalan Malioboro, maka lurus saja ke arah selatan melewati
perempatan nol kilo meter. Dari perempatan nol kilo meter jarak Alun- alun Lor
sekitar 100 meter. Berkunjung ke Alun-alun Lor, sempatkan juga untuk mengunjungi tempat
wisata yang berada di sekitarnya : Keraton Yogyakarta, Masjid Gedhe, sentra
Gudeg wijilan, sentra wisata Malioboro, serta Benteng Vredeburg.
0 komentar:
Posting Komentar