Di
kota Yogyakarta, di mana banyak orang menyebut kota ini memiliki sejuta
kenangan, terdapat satu kawasan belanja legendaris, yakni Malioboro. Penamaan
‘Malioboro‘ diadopsi dari nama seseorang anggota kolonial Inggris yang pernah
menduduki Yogyakarta pada tahun 1811—1816 M, yakni Marlborough.
Malioboro
memang sengaja dibangun di jantung kota Yogyakarta oleh pemerintah Kolonial
Hindia-Belanda di awal abad ke-19 sebagai pusat aktivitas perekonomian dan
pemerintahan. Kawasan ini secara simbolis juga berfungsi untuk menandingi
dominasi kekuasaan Sultan Mataram melalui kemegahan keratonnya.
Untuk
tujuan tersebut, didirikanlah: Benteng Vredeburg [1765, kini menjadi museum dan
arena wisata publik], Istana Keresidenan Kolonial [sekarang menjadi Istana
Presiden, Gedung Agung di tahun 1832 M], Pasar Beringharjo, Hotel Garuda
[tempat menginap dan berkumpul para elite kolonial ketika itu] dan kawasan
pertokoan [perekonomian] Malioboro sendiri. Posisi semua bangunan tersebut
berada di depan [utara] Alun-Alun yang menjadi halaman keraton.
Bangunan-bangunan bersejarah peninggalan kolonial yang terletak di kawasan
Malioboro tersebut menjadi saksi bisu perjalanan kota yang kerap disebut kota
pelajar ini dari masa ke masa. Kelak, kawasan ini direncanakan akan menjadi
sebuah kawasan pedestrian agar mengurangi kemacetan kendaraan bermotor dan
polusi udara dalam kota.
B.
Keistimewaan
Sebagai
kawasan wisata, Malioboro menyajikan berbagai variasi aktivitas berbelanja.
Mulai dari cara-cara berbelanja tradisional khas Malioboro, hingga
bentuk-bentuk aktivitas belanja modern.
Beragam
cara berbelanja khas Malioboro salah satunya ialah proses tawar-menawar
berbagai cenderamata yang dijajakan oleh pedagang kaki lima yang berjajar di sepanjang
trotoar di kawasan ini. Para pedagang itu menjual beraneka cenderamata dan
kerajinan yang terbuat dari perak, gerabah, kain batik, kayu, kuilt, dan lain
sebagainya. Namun, jangan heran, misalnya, apabila penjaja menawarkan suvenir
yang diminati dengan harga Rp 50.000. Tawaran seperti ini harus disusul dengan
proses tawar-menawar dari wisatawan. Sehingga, harga dapat turun drastis
hingga, misalnya, si pedagang melepasnya dengan harga Rp 10.000 saja. Hal ini
juga dapat wisatawan lakukan ketika mengunjungi Pasar Tradisional Beringharjo
yang masih satu area dengan Malioboro. Inilah keunikan dari tradisi wisata
belanja di Malioboro.
Berbeda
dengan belanja di sepanjang jalan Malioboro ini. Di toko-toko di kawasan
Malioboro, wisatawan dapat membeli barang-barang yang diminati, mulai dari
batik, berbagai suvenir, pakaian, dan lain sebagainya tanpa ada proses
tawar-menawar. Di sini, nampak Malioboro juga hadir sebagai kawasan
perbelanjaan modern seperti salah satunya adalah di Mal Malioboro
Malioboro Mall Photo
Mengunjungi
kawasan ini ibarat pepatah sambil menyelam minum air. Malioboro dekat dengan
obyek-obyek wisata sejarah, wisata arsitektur peninggalan kolonial, dan juga
wisata belanja tradisional lainnya. Obyek-obyek wisata sejarah yang berada di
sekitar Malioboro di antaranya Keraton Yogyakarta dan alun-alunnya, Masjid
Agung, Benteng Vredeburg, Museum Sonobudoyo, dan Kampung Kauman. Sedangkan pada
wisata arsitektur peninggalan kolonial di Yogyakarta yang masih dapat
disaksikan, seperti Gedung Societet [sekarang Taman Budaya], Hotel Inna Garuda,
Bank Indonesia, dan Bank BNI‘46. Dan, dua obyek wisata belanja tradisional di
dekat kawasan ini, yaitu Pasar Ngasem dan Pasar Beringharjo. Selain itu, bagi
wisatawan yang gemar membaca, kawasan ini juga menyediakan perpustakaan umum
milik Pemerintah Provinsi DIY.
Selain berbagai keragaman suasana di atas, wisatawan juga dapat menyaksikan kekhasan
lain Malioboro berupa puluhan becak dan andong wisata khas Yogyakarta yang
diparkir paralel di sebelah kanan jalan di jalur lambat kawasan ini yang siap
mengantar wisatawan berkeliling Malioboro dan sekitarnya. Sedangkan di sebelah
kiri jalan, wisatawan dapat melihat ratusan sepeda motor diparkir berjajar di
sepanjang trotoar Malioboro yang menjadi tanda bahwa Malioboro adalah kawasan
ramai pengunjung.
Segala
aktivitas turisme di atas biasanya dilakukan di siang hingga malam hari sekitar
pukul 21.00 WIB. Di malam harinya, Malioboro menyuguhkan kepada wisatawan
nuansa makan malam dengan berbagai pilihan menu di warung-warung lesehan khas
Yogyakarta yang berjejer rapi di tepi jalan Malioboro. Para musisi jalanan akan
menghampiri dan menemani santap malam wisatawan di berbagai warung lesehan ini.
Masakan yang lezat, lantunan lagu-lagu dari para musisi jalanan, terang lampu
kota, dan semilir angin berhembus di malam hari membuat wisatawan kerasan dan
akan mengenang Malioboro sebagai kawasan yang seolah tak tertandingi.
C.
Lokasi
Kawasan
ini terletak di Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Indonesia. Hanya sekitar 800 meter dari Keraton Yogyakarta.
D.
Akses
Lantaran
menjadi kawasan andalan pariwisata di Yogyakarta, wisatawan memiliki banyak
pilihan transportasi yang sesuai untuk sampai di Malioboro. Wisatawan bisa naik
bus: bus kota [menggunakan Jalur 4] dan bus Transjogja [trayek 3A atau 3B].
Semua jenis bus ini dapat ditemui di Terminal Pusat Giwangan atau halte-halte
yang ada di seputar Jogja. Tarif bus kota saat ini Rp 2.500,00 sedangkan untuk
bus Transjogja sebesar Rp 3.000,00.
Ada
pula taksi yang bisa dijadikan pilihan lain bagi wisatawan, baik pesan via
telepon dari penginapan maupun mencegatnya di pinggir jalan di Yogyakarta. Jika
ingin menikmati suasana Kota Yogyakarta, maka bisa dipilih andong wisata maupun
becak.
E.
Harga Tiket
Memasuki
kawasan Malioboro, wisatawan tidak dipungut biaya.
F.
Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Tak
diragukan lagi bahwa kawasan ini menyediakan berbagai macam komodasi bagi
wisatawan, mulai dari hotel berbintang lima dengan harga sewa kamar per
malamnya mencapai ratusan ribu bahkan jutaan, hingga motel-motel atau homestay,
yang harga sewa tiap kamarnya hanya berkisar Rp 20.000 per malam. Bagi yang
berminat menginap, wisatawan dapat mencarinya di sekitar Jalan Mangkubumi,
Jalan Dagen, Jalan Sosrowijayan, Jalan Malioboro, Jalan Suryatmajan, dan Jalan
Mataram. Atau mencari penginapan di bagian barat kawasan ini, yakni Jalan
Ngasem dan daerah Wijilan yang letaknya tidak jauh dari kawasan Malioboro.
Selain
itu, wisatawan juga dapat memilih berbagai masakan berdasarkan selera
masing-masing, mulai dari angkringan [warung berbentuk gerobak yang menyediakan
serba-serbi makanan lokal] yang letaknya di utara Stasiun Tugu, masakan-masakan
khas Yogyakarta [seperti gudeg, nasi goreng, lalapan, dsb.] yang disajikan
dengan suasana lesehan, berbagai masakan Cina, sampai fastfood atau masakan-masakan
a la Barat [seperti steak, beef lasagna, dsb.] dalam restoran atau café-café
yang ada di sekitar Malioboro.
Fasilitas yang
menunjang kawasan ini tak hanya berupa akomodasi dan tempat makan saja,
melainkan juga pos informasi bagi wisatawan, polisi pariwisata, tempat ibadah,
kios-kios money changer, ATM, kios telepon, warung internet, tempat parkir yang
luas, sampai Stasiun Kereta Api Tugu. Jika wisatawan ingin membeli buah tangan
untuk sanak keluarga di rumah, cukup berkunjung di sekitar Jalan Mataram atau
di sebelah barat Malioboro yang menyediakan berbagai macam penganan khas Jogja,
seperti bakpia, geplak, yangko, dan puluhan jenis keripik.
0 komentar:
Posting Komentar